Sumber https://www.instagram.com/p/CjzA0T7v86L/?igshid=YmMyMTA2M2Y=

Deforestation Free Supply Chain European Union 7 Desember 2022

Jakarta, STABILITASBISNIS.COM – Regulasi Uni Eropa (UE) mengenai deforestation-free supply chain (DFSC) terkait komoditas yang mereka impor dari negara lain menimbulkan berbagai macam reaksi. Ada yang menilai hal tersebut penting dilakukan untuk keberlanjutan lingkungan, tapi banyak pula yang keberatan dengan peraturan baru tersebut. Penolakan banyak terjadi dari negara eksportir komoditas yang bersangkutan, karena peraturan dinilai memberatkan dan terlalu mendadak. Pihak terdampak dengan adanya peraturan ini adalah stakeholder yang ada di industri sawit, termasuk bagi petani swadaya sehingga dibutuhkan langkah-langkah yang tepat untuk merespon regulasi ini. Kelapa sawit juga merupakan salah satu komoditas penyumbang devisa yang besar bagi Indonesia sehingga setiap regulasi dan isu yang beredar di dalamnya dapat mempengaruhi kesejahteraan stakeholder di industri sawit dan bahkan memberikan dampak ke negara, pelaku usaha dan masyarakat.

Isu-isu dalam Regulasi Deforestation-free Supply Chain UE

Dalam paparannya, Fungsional Diplomat Madya Kementrian Luar Negeri Emilia H Elisa menjelaskan bahwa salah satu isu dalam regulasi DFSC adalah perbedaan definisi deforestasi yang digunakan oleh Uni Eropa yang bersumber dari FAO. Definisi ini tidak sinkron dengan definisi deforestasi yang digunakan oleh KLHK yang merujuk pada deforestasi netto. Selain itu, benchmarking sistem untuk menentukan kategori risiko high/low dilakukan oleh otoritas UE secara unilateral. Emilia melanjutkan bahwa penentuan komoditas dalam DFSC juga didasari oleh komoditas yang permintannya tinggi di pasar Eropa yang dianggap berkontribusi terhadap laju deforestasi. Ditambah lagi, terdapat mekanisme due diligence melalui geolocation coordinates untuk menentukan letak area produksi komoditas yang dimaksud. Hal ini akan mensyaratkan penyediaan geo-location untuk setiap bidang tanah yang akan menimbulkan masalah logistik untuk shipment dimana umumnya dilakukan dalam bulk.

Baca Juga:  Jamkrindo Mendukung Pengembangan Kerajinan Perak di Yogyakarta

Dr. Musdhalifah Machmud, Deputi Bidang Koordinasi Pangan dan Agribisnis mengatakan bahwa gejolak politik serta kebijakan-kebijakan internasional UE menempatkan kelapa sawit Indonesia menjadi lebih rentan di pasar Eropa. Beliau juga menyayangkan bahwa UE kurang mendengarkan apa yang pemri sampaikan dalam dialog multilateral. Beliau juga menambahkan bahwa kebijakan ini merupakan upaya UE untuk menyulitkan komoditas Indonesia karena berdampak besar terhadap komoditas ekspor Indonesia, sedangan komoditas UE tidak dipersulit.

Debbie Prabawati dari Universitas Gajah Mada menjelaskan bahwa salah satu isu dalam regulasi DFSC adalah dampak negatifnya terhadap smallholders yang tidak mempunyai akses terhadap pembuatan, implementasi, dan monitoring terhadap pembuatan kebijakan, serta akses terhadap pasar, modal, dan pengetahuan mengenai sawit yang berkelanjutan.

Agus Purnomo, Direktur PT SMART Tbk menjelaskan bahwa jika dilihat dalam skala ekspor, ekspor Indonesia yang masuk ke EU adalah yang sudah certified. Maka seharusnya deforestasi bukan alasan untuk menghalangi ekspor sawit dan produk turunannya.

Dampak Regulasi Deforestation-Free Supply Chain UE

Joko Sarjito, Head Climate & Market Transformation WWF Indonesia mengatakan bahwa aturan DFSC juga dapat berdampak positif terhadap Indonesia. Beliau menilai bahwa kebijakan tersebut dapat meningkatkan transparansi supply chain sawit dan meningkatkan perbaikan tata kelola sehingga produktivitas sawit meningkat. Selain itu, dengan adanya DFSC, smallholders juga akan lebih diperhatikan agar mereka dapat memenuhi aspek legalitas dengan baik. Namun, perlu dicatat bahwa regulasi mengenai traceability harus tetap patuh kepada peraturan yang ada di Indonesia, dan pihak UE juga harus memberikan dukungan.

Baca Juga:  Good Mining Practice & Circular Economy Bawa MIND ID Raih Proper Emas

Agus Purnomo, Direktur PT SMART Tbk menyampaikan bahwa yang terdampak dari regulasi ini bukan hanya Indonesia, tapi pengusaha-pengusaha di UE juga karena mereka mengandalkan bio fuel untuk usaha mereka. Melalui isu ini, kita harus bersiap-siap bahwa non-energy juga akan mengalami hal serupa.

Langkah-langkah Pemerintah Menghadapi DFSC UE

Dr. Musdhalifah Machmud, Deputi Bidang Koordinasi Pangan dan Agribisnis mengatakan bahwa sebaiknya UE juga melakukan upaya reforestasi yang cukup untuk meraih tujuan keberlanjutan.

Fungsional Diplomat Madya Kementerian Luar Negeri Emilia H Elisa memaparkan bahwa upaya Pemri saat ini sudah mencakup upaya Mendag RI dalam bersurat kepada 27 negara anggota UE dan Executive Vice President yang juga Commisioner for Trade UE. Selain itu, KBRI Brussel juga telah menginisiasi Joint Letter on the EU Proposal for Deforestation Free Supply Chain yang ditandatangani oleh 14 negara yang berkepentingan. Selain itu, Pemri juga telah berupaya melalui forum multilateral seperti WTO.

Agus Purnomo, Direktur PT SMART Tbk juga menyampaikan bahwa jika EU terus memaksa Indonesia untuk mengikuti peraturan mereka, maka hal tersebut termasuk dalam pelanggaran kesepakatan multilateral. Sebenarnya dapat dilakukan retaliasi, akan tetapi Indonesia tidak mau melakukannya. Jika tren ini terus berlanjut, maka Indonesia sebaiknya tidak perlu mengekspor ke UE.

Baca Juga:  Borong! PLN Raih 8 Proper Emas dan 20 Proper Hijau Pada Ajang Anugerah Lingkungan KLHK 2021

Ari Rakatama, Peneliti INDEF mengatakan bahwa dampak kampanye negatif sawit di UE tidak terlalu signifikan. Beliau menyarankan untuk memperluas dan menggencarkan pasar sawit Indonesia ke negara-negara alternatif seperti Tiongkok, India, Amerika, dan Afrika. Selain itu, pasar domestik juga harus diperkuat.

Ir. Rismansyah Danasaputra, MM, Komite ISPO juga menyepakati bahwa pemerintah tidak perlu terlalu panik dalam menghadapi isu ini, karena Indonesia dapat membuka pasar-pasar baru untuk komoditas sawit dan turunannya ini. Indonesia juga sudah lebih dari 10 tahun dalam memerangi deforestasi karena pembukaan lahan baru untuk kelapa sawit kebanyakan dari peralihan komoditas lain (seperti karet dan kakao). Jadi yang perlu harus lebih diperhatikan adalah pemenuhan persyaratan ISPO lain, seperti kejelasan hak tanah.

Sunny W.H Reetz, CEO The Indonesia Green Financial and Investment Institute (TIGFII) menjelaskan bahwa dengan tingkat produktifitas yang tinggi dari sawit (8- 10 kali lebih tinggi dari vegetable oil lainnya) maka minyak kelapa sawit menjadi pilihan utama. Apalagi ditambah perang dari Rusia dan Ukraina yang merupakan produsen sunflower oil, maka UE akan melihat bahwa sawit lebih menarik daripada yang lain

Ekonom dan Pakar Kebijakan Publik Narasi Institue, Achmad Nur Hidayat juga menyampaikan bahwa diplomasi ini belum final. Maka kita harus memainkan smart diplomacy. Dan pemerintah harus menentukan langkah yang jelas, akankah menerima, menggugat atau men-delay aturan ini.

Berbagi Yuk!

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *