Jakarta, STABILITASBISNIS.COM – Aktivitas kehidupan manusia bisa dibilang tidak dapat dipisahkan dengan segala aktivitas ekonomi dan keuangan. Mulai dari sekadar transaksi jual beli di warung, menyimpan tabungan dan mendapatkan pembiayaan dari bank, hingga berinvestasi saham sampai obligasi, semuanya membuat kita seolah tak bisa lepas dari sebuah transaksi keuangan.
Namun sebenarnya, belum banyak produk-produk jasa keuangan yang familiar dan dikenal oleh masyarakat. Dari berbagai layanan jasa keuangan yang tersedia, mungkin perbankan, asuransi dan pasar modal bisa disebut sebagai yang terdepan dalam hal penetrasinya di pasar domestik.
Padahal di luar itu masih banyak layanan jasa keuangan lain yang meski terkesan kurang familiar, namun pada dasarnya sangat dekat dan memberikan manfaat maksimal dalam kehidupan kita seharihari. Salah satunya adalah industri penjaminan.
“Memang kalau soal familiar, masyarakat kita bisa dianggap masih belum terlalu familiar dengan produk penjaminan, karena memang Undang-Undang Penjaminan baru ditetapkan tahun 2016, yaitu UU Nomor 01 tanggal 19 januari 2016 tentang Penjaminan” ujar Direktur Operasional Jamkrindo Syariah, Achmad Sonhadji, saat ditemui di kantornya, di Jakarta, pekan ini.
Jamkrindo Syariah sendiri merupakan salah satu angggota usaha dari Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang bergerak di industri keuangan, yaitu PT Bahana Pembinaan Usaha Indonesia (BPUI) atau yang bisa disebut dengan Indonesia Financial Group (IFG) dan merupakan anak usaha dari PT Jaminan Kredit Indonesia (Jamkrindo) yang bergerak di industri penjaminan nasional. Lahir pada 19 September 2014, Jamkrindo Syariah sengaja didirikan untuk fokus pada bisnis penjaminan syariah, yang dalam perkembangannya dinilai sangat menjanjikan.
Memasuki delapan tahun beroperasi, Jamkrindo Syariah berhasil membuktikan bahwa asumsi begitu menjanjikannya ceruk pasar penjaminan syariah nasional ternyata benar adanya. Dalam periode tahun berjalan, growth kinerja Bank Syariah tercatat mencapai hampir dua ratus persen. Porsi growth yang demikian menunjukkan bahwa hadirnya Jamkrindo Syariah dapat diterima baik oleh pasar.
“Lalu pertanyaannya, bagaimana kita sebagai pendatang baru, namun bisa diterima dengan baik oleh pasar? Ya karena kami berhasil merespon dengan baik apa yang selama ini dibutuhkan oleh pasar,” tutur Sonhadji.
Diakui oleh Sonhadji, bahwa industri penjaminan nasional selama ini lebih familiar dengan kiprah perusahaan asuransi ketimbang keberadaan perusahaan penjaminan itu sendiri. Namun bagaimana pun, keberadaan perusahaan asuransi diklaim Sonhadji tidak akan mampu menjawab permintaan pasar yang ada di ceruk bisnis penjaminan.
Dijelaskan Sonhadji, secara natural bisnis asuransi terbagi atas dua ruang lingkup, yaitu asuransi jiwa yang mengcover obyek fisik manusia (mati) dan asuransi umum yang mengcover obyek asuransi yang bersifat fisik. Dengan berbagai macam ekspansi bisnis yang dilakukan, menurut Sonhadji, cakupan bisnis asuransi tidak akan pernah bisa keluar dari dua ruang lingkup tersebut.
“Sedangkan kita di (industri) penjaminan, cakupan (bisnis) kita jauh lebih luas. Pasar dari dulu sebenarnya mencari (layanan) itu, tapi belum ada. Pasar di situ relatif kosong, yang coba digarap oleh (perusahaan) asuransi. Tapi tidak sepenuhnya (terjawab), dan kita hadir menjawab kebutuhan itu,”
ungkap Sonhadji.
Jika industri asuransi bergerak pada obyek fisik, industri penjaminan disebut Sonhadji hadir lebih pada kebutuhan pemenuhan kewajiban keuangan non-fisik, baik untuk perorangan maupun badan usaha. Pemenuhan kewajiban itu diperlukan saat seseorang atau badan usaha berhutang dan/atau melakukan perjanjian kontrak kerja sesuatu dalam ruang lingkup transaksi jasa keuangan. Misalnya saja terkait fasilitas pembiayaan dari perbankan.
“Nah kebutuhan ini tidak ada wadahnya. Dulu ada jaminan pelaksanaan, jaminan pembayaran, jaminan uang muka atau penawaran yang diterbitkan oleh asuransi, karena itu sebetulnya degresi dari undang undang asuransi, karena (perusahaan) penjaminan belum ada, karena undang-undangnya memang belum tersedia,” papar Sonhadji.
Padahal, menurut Sonhadji, layanan jaminan pelaksanaan, jaminan pembayaran, jaminan uang muka atau penawaran tersebut merupakan kebutuhan yang wajib dipenuhi oleh perbankan untuk dapat menyalurkan pembiayaannya. Karena itu, meski terhitung baru dalam industri jasa keuangan Indonesia, hadirnya perusahaan penjaminan langsung dapat diterima oleh pasar, dan bahkan memiliki cakupan yang lebih luas ketimbang sebelumnya.
Sebagai perusahaan penjaminan, JamSyar memiliki berbagai produk, baik produk penjaminan program maupun penjaminan non program. Pada penjaminan program, JamSyar memiliki produk Penjaminan Kredit Usaha Rakyat (KUR), Penjaminan pembiayaan FLPP dan Penjaminan Kredit Modal Kerja dalam rangka PEN. Adapun untuk penjaminan non program JamSyar memiliki produk penjaminan kontra bank garansi (KBG), Penjaminan Surety Bond, Penjaminan Custom Bond, Penjaminan Pembiayaan Multiguna, Penjaminan Pembiayaan Umum, Penjaminan Pembiayaan Mikro, Penjaminan Pembiayaan Konstruksi dan Pengadaan Barang/Jasa, Penjaminan Supply Chain Financing (SCF), serta Penjaminan Distribusi Barang.
Kecukupan Modal
Dengan cakupan layanan dan produk yang lebih luas tersebut, Sonhadji mengklaim kinerja bisnis perusahaan penjaminan menjadi lebih fleksibel mengikuti kebutuhan dari produk perbankan sebagai obyek yang bakal dijamin. Dengan kondisi demikian, praktis sangat terbuka peluang bagi perusahaan penjaminan seperti Jamkrindo Syariah untuk berekspansi semaksimal mungkin. “Tapi memang di sinilah uniknya bisnis penjaminan, karena kita tidak bisa sembarangan expand, melainkan sesuai dengan modal yang kita miliki. Kenapa? Agar prudent, dan sisi prudentialitas itu yang membentuk kepercayaan pasar terhadap kita,” ungkap Sonhadji.
Dalam ilmu ekonomi, Sonhadji menjelaskan, kekuatan sebuah perusahaan (asset) pada dasarnya merupakan gabungan dari total modal (equity) ditambah total kewajiban (liability). Bila kemudian sebuah perusahaan besar diketahui modalnya kecil, maka dapat disimpulkan beban kewajiban yang dimiliki pasti besar. Artinya, secara bisnis perusahaan ini terbilang rapuh lantaran fondasinya tidak kuat.
Sebaliknya, bila sebuah perusahaan besar karena memang permodalannya kuat, maka dapat dipastikan beban kewajibannya kecil atau on control. Artinya, fondasinya kuat, sehingga akan lebih lincah untuk berekspansi mengembangkan bisnis ke depan. JamSyar memiliki fondasi yang kuat, hal ini terlihat dari pertumbuhan aset yang dicapai berdasarkan laporan keuangan tahun 2021 (diaudit oleh KAP PwC) sebesar Rp2,445 triliun atau tumbuh 55,39% dibandingkan tahun 2020 senilai Rp1,573 triliun, dengan ekuitas yang meningkat, yaitu senilai Rp977 miliar pada tahun 2021.
Berkaca pada Jamkrindo sebagai induk usaha, misalnya. Sejak didirikan, pemerintah telah membekali Jamkrindo permodalan yang cukup besar lewat skema Penyertaan Modal Negara (PMN). Penguatan ini memang dibutuhkan agar Jamkrindo dapat lebih prudent dalam menangani kebutuhan penjaminan Kredit Usaha Rakyat (KUR) dan berbagai program keuangan lain dari pemerintah melalui perbankan.
“Dan secara regulasi, perusahaan penjaminan memang tidak boleh berhutang. Logikanya, masak kita yang bisnisnya menjamin portofolio pinjaman di perbankan, kok kitanya malah berhutang. Nggak mungkin. Maka kekuatan andalan kita ya di kecukupan modal,” papar Sonhadji.
Selektif
Dalam regulasi tersebut, ditambahkan Sonhadji, batasan gearing ratio perusahaan dalam melakukan penjaminan dan penjaminan ulang ditentukan maksimal sebesar 40 kali dari total modal yang dimiliki. Sehingga dalam menjalankan bisnisnya, perusahaan penjaminan juga tidak bisa jor-joran dengan mengambil semua kesempatan yang tersaji di depan mata. Dengan gearing ratio yang terbatas hanya 40 kali dari modal, maka dengan sendiri perusahaan penjaminan terdorong untuk lebih selektif dalam memutuskan apakah akan mengambil atau melewatkan tawaran penjaminan yang datang.
“(Dampak) Bagusnya kita jadi lebih selektif. Kalau ada project yang kita anggap kurang menguntungkan, risikonya terlalu tinggi atau berpotensi membebani di kemudian hari, pasti kita skip. Mau (tawaran datang) dari perusahaan besar, bank besar, kita skip. Penilaian kita obyektif dan kita sampaikan alasannya kita skip. Jadi bisa dipertanggungjawabkan,” tandas Sonhadji.
Dengan permodalan yang kuat, azas prudentialitas yang terjaga dengan baik, serta selalu selektif terhadap setiap project yang ditawarkan, maka secara bertahap keberadaan Jamkrindo Syariah kini telah memiliki positioning yang kuat di industri penjaminan nasional secara keseluruhan. Bila di tahun-tahun awal Jamkrindo Syariah sibuk mencari rekanan, kini justru sibuk memilih dan memilah project dan rekanan mana yang bakal diambil oleh Jamkrindo Syariah.
Dengan begitu, kehadiran Jamkrindo Syariah di industri jasa keuangan syariah nasional diklaim Sonhadji kini semakin diperhitungkan oleh lembaga-lembaga keuangan yang membutuhkan jasa penjaminan.
“Inilah yang selama ini menjadi booster utama atas moncernya kinerja Jamkrindo Syariah. Ini juga kita tekankan betul ke seluruh tim yang ada di lapangan, agar tidak lagi minder atau insecure ketika berhadapan dengan klien. Kita harus punya corporate pride. Ada value perusahaan yang harus kita junjung tinggi. Ada trust di sana. Ada kredibilitas dan kualitas kerja yang selalu kita jaga. Seperti itulah cara kami membangun dan mengembangkan Jamkrindo Syariah ini,” tegas Sonhadji. (Adv)